Sabtu, 26 Oktober 2013

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL ( Suatu Kajian Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 005 / PUU-IV / 2006 Tentang Penguatan Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial )



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
     Salah satu persyaratan mutlak atau conditio sine qua non dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum adalah pengadilan yang mandiri,netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia.Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi, dan peran hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya.
    Melalui putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang. Oleh sebab itu, semua kewenangan yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim. Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang tinggi, sehingga  putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggung-jawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggung-jawabkan  kepada  Tuhan Yang Maha Esa.
    Seperti kita ketahui bahwa setiap profesi termasuk hakim menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman para profesional untuk menyelesaikan dilema etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya sehari-hari. Etika merupakan norma-norma yang dianut oleh kelompok, golongan atau masyarakat tertentu mengenai perilaku yang baik dan buruk. Dan etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai norma-norma yang terwujud dalam perilaku hidup manusia, baik secara pribadi atau kelompok.
    Sistem etika bagi profesional dirumuskan secara konkret dalam suatu kode etik profesi yang secara harafiah berarti etika yang ditulis. Kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukkan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu dalam masyarakat. Tujuan kode etik ini adalah menjunjung tinggi martabat profesi atau seperangkat kaedah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi.
    Keberadaan suatu pedoman etika dan perilaku hakim sangat dibutuhkan dalam rangka  menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pedoman etika dan perilaku hakim merupakan inti yang melekat pada  profesi hakim, sebab ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Oleh karena Pembukaan rancangan pedoman etika dan perilaku Hakim, itu, hakim dituntut untuk berintegritas dan professional, serta menjunjung tinggi pedoman etika dan perilaku hakim. Profesionalisme tanpa etika menjadikannya“bebas sayap” (vluegel vrij) dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh sayap” (vluegellam) dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak.
    Pelanggaran atas suatu pedoman etika dan perilaku hakim itu tidaklah terbatas sebagai masalah internal badan peradilan, tetapi juga merupakan masalah masyarakat dan pencari keadilan. Akan tetapi untuk mewujudkan suatu pengadilan sebagaimana dikemukakan di atas tidaklah mudah karena adanya berbagai hambatan. Hambatan itu antara lain timbul dari dalam badan peradilan sendiri terutama yang berkaitan dengan kurang efektifnya pengawasan internal, dan cenderung meningkatnya berbagai bentuk penyalah-gunaan wewenang oleh hakim.
    Padahal sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan, hakim harus berintegritas dan profesional, serta membutuhkan kepercayaan masyarakat dan pencari keadilan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Salah satu hal penting yang disorot masyarakat untuk mempercayai hakim, adalah perilaku dari hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya. kehormatan dan keluhuran martabat berkaitan erat dengan sikap dan perilaku yang berbudi pekerti luhur. Budi pekerti luhur adalah sikap dan perilaku yang didasarkan kepada kematangan jiwa yang diselaraskan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat.
    Orang yang berbudi pekerti luhur dalam bertindak dan berperilaku menggunakan perasaan, pemikiran, dan dasar pertimbangan yang jelas, dalam arti ada dasar yang mengatur dan berdasarkan akal sehat. Keluhuran menunjukkan bahwa profesi hakim adalah suatu kemuliaan, atau profesi hakim officium nobile adalah suatu officium nobile. Bila suatu profesi terdiri dari aspek-aspek (1) organisasi profesi yang solid,(2) standar profesi, (3) etika profesi, (4) pengakuan masyarakat, dan (5) latar belakang pendidikan formal, maka suatu profesi terutama berlandaskan etika profesi dan pengakuan masyarakat. Sedangkan martabat menunjukkan tingkat hakekat kemanusiaan, sekaligus harga diri. Sedangkan perilaku dapat diartikan sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Perilaku hakim dapat menimbulkan kepercayaan, tetapi juga menyebabkan ketidak-percayaan masyarakat kepada putusan pengadilan.
    Sejalan dengan dengan hal tersebut,  Hakim dituntut untuk selalu  menjaga dan menegakkan  kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan  berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itulah dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia di bentuk sebuah Komisi Yudisial agar warga masyarakat diluar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
    Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan, yang sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun segi etika. Untuk itu diperlukan suatu institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri. Oleh karena itu, institusi pengawasan itu dibentuk di luar struktur Mahkamah Agung, melalui institusi tersebut aspirasi masyarakat di luar struktur resmi dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan para Hakim Agung serta dilibatkan pula dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika.
    Pada dasarnya Komisi Yudisial adalah sebuah lembaga yang masih tergolong baru di Negara kita. Sebuah komisi yang bersifat mandiri yang mana kewenangannya adalah untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan kewenangan lain yaitu menjaga (mengawasi) dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim ( UUD 45 pasal 24B ayat (1) ). Bahwa salah satu wewenang Komisi Yudisial sebagaimana diamanatkan Undang Undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya diimplementasikan dalam  Undang Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial adalah  menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
    Untuk melaksanakan kewenangannya itu secara efektif dibutuhkan adanya suatu pedoman etika dan perilaku hakim. Dalam menjaga dan menegakkan kehormatan hakim, Komisi Yudisial akan memperhatikan apakah putusan yang dibuat sesuai dengan kehormatan hakim dan rasa keadilan yang timbul dari masyarakat. Sedangkan dalam menjaga dan menegakkan keluhuran  martabat hakim, Komisi Yudisial harus mengawasi apakah profesi hakim itu telah dijalankan sesuai pedoman etika dan perilaku hakim, dan memperoleh pengakuan masyarakat, serta mengawasi dan menjaga agar para hakim tetap dalam hakekat kemanusiannya,berhati nurani, sekaligus memelihara harga dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela. Selain itu juga, yang menjadi alasan Utama Bagi Terwujudnya Komisi Yudisial Di Dalam Suatu Negara Hukum adalah:
1.    Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring internal saja;
2.    Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (Executive Power) dan kekuasaan kehakiman (Judicial Power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah.
3.    Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan (Judicial Power) akan semakin tinggi dalam banyak hal; baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring Hakim Agung maupun pengelolaan keuangan    kekuasaan kehakiman.
4.    Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial).
5.    Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (JudicialPower) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan Hakim Agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.
    Akan tetapi kewenangan untuk mengawasi para hakim ini masih bersifat terlalu umum dalam artiannya, sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran yurisdiksi tugas pengawasan perilaku hakim. Mahkamah Agung menganggap bahwa yang dimaksud putusan pengawasan perilaku tidak termasuk pengawasan atas putusan hakim (dan eksekusi). Pengawasan terhadap putusan (teknis yudisial) adalah wewenang Mahkamah Agung. Sebab, jika hal tersebut dilakukan oleh Komisi Yudisial dapat mengancam independensi hakim (Rifqi S. Assegaf “Mahkamah Konstitusi VS Komisi Yudisial” http://www.republika.com/artikel/html di akses Tanggal 14 januari 2013)
    Dalam batas tertentu, alasan ini dapat dimengerti. Apalagi ada kekhawatiran lain bahwa nantinya bisa jadi Komisi Yudisial ditempatkan selayaknya lembaga banding jika ada ketidakpuasan pencari keadilan atas suatu putusan. Pada gilirannya hal ini akan merusak sistem dan melahirkan ketidakpastian hukum. Komisi Yudisial memandang bahwa sudah selayaknya pengawasan terhadap putusan masuk dalam wilayah kerja mereka. Pertimbangannya adalah, UU menyatakan bahwa hakim dapat diberhentikan karena alasan ketidakcakapan, yakni jika kerap melakukan kesalahan besar dalam bertugas (lihat , UU No.8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum).
    Jadi independensi hakim ada batasannya. Kewenangan penting, namun cara pelaksanaannya juga penting. Bukan mustahil Komisi Yudisial menganggap cara mereka--misalnya untuk memanggil dan memeriksa hakim--telah sesuai dengan Undang-Undang, yakni tetap menghargai harkat dan martabat hakim serta telah merahasiakan informasi hasil pemeriksaan (Pasal 22 A Ayat 1 c UU No. 18 tahun 2011 tentang Komisi Yudisial). Di sisi lain, Mahkamah Agung mungkin berpandangan sebaliknya. Perlu dilakukan penyamaan ‘frekuensi’ penafsiran. Misalnya, tidak boleh membuat pernyataan ke publik yang seakan-akan telah memvonis suatu fakta yang masih dalam tahap pemeriksaan. Pemanggilan hakim seyogianya dilakukan di akhir masa pengumpulan bukti.
    Dan hanya jika ada bukti awal yang kuat saja seorang hakim akan dipanggil.Tidak perlu ada publikasi nama hakim yang akan atau tengah diperiksa (kecuali jika kasusnya sudah diketahui publik). Publikasi (demi akuntabilitas dan transparansi)dilakukan jika sudah ada rekomendasi sanksi ke Mahkamah Agung.
    Kedudukan dan martabat masing-masing institusi harus dijaga. Model pemanggilan (pengundangan) hakim agung perlu dibedakan dari hakim biasa,mengingat kedudukannya. Dalam hal seorang hakim agung akan diminta keterangannya sebagai saksi, sebaiknya dilakukan di Mahkamah Agung atau tempat yang netral. Namun jika hakim agung tersebut akan diminta keterangan sebagai terlapor (jika ada bukti yang cukup kuat), maka yang bersangkutan harus datang ke Komisi Yudisial sebagai bentuk penegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum.
    Dari kasus tersebut diatas, membuktikan bahwa ada kesalah pahaman diantara pihak – pihak tersebut diatas. Maka berdasarkan permasalahan tersebut, penulis ingin mengangkat permasalahan tersebut kedalam suatu penulisan skripsi dengan judul :
“Tinjauan Yuridis Terhadap Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial ( Suatu kajian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No . 005 / PUU - IV / 2006 tentang penguatan tugas dan kewenangan Komisi Yudisial )
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah Fungsi Komisi Yudisial dalam melakukan Pengawasan terhadap Hakim ?
2.    Sejauhmana Implikasi Hukum  Kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan Terhadap Hakim setelah keluarnya  putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
a.    Untuk mengetahui bagaimanakah Fungsi Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap Hakim.
b.    Untuk mengetahui Sejauhmana Implikasi Hukum Kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasanterhadap Hakim setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 005 / PUU-IV/2006.
2. Manfaat Penelitian
a.    Sebagai acuan untuk menjawab dan mengetahui bagaimanakah Fungsi Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan Terhadap Hakim.
b.     Bagi dunia pendidikan khususnya fakultas hukum dapat dijadikan sebagai bahan referensi yang berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang masalah – masalah hukum  yang ada dalam masyarakat.
c.    Dan sebagai referensi bagi Perpustakaan Universitas Muslim Indonesia .









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Teori Negara Hukum
    Jika dirunut ke belakang, maka faham negara hukum sebetulnya merupakan konsep yang sudah lama menjadi discourse para ahli. Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikal bakal pemikiran tentang negara hukum. Sedangkan Ariestoteles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkan dengan arti negara yang dalam perumusannya masih terkait pada polis. Bagi Ariestoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil dankesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.
    Istilah rechtstaat (negara hukum) merupakan istilah baru, baik jika dibandingkan dengan istilah demokrasi, konstitusi, maupun kedaulatan rakyat. Para ahli telah memberikan pengertian tentang negara hukum.
Menurut R. Supomo (2006:13) memberikan pengertian terhadap negara hukum sebagai, “ negara yang tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara. Negar hukum juga akan menjamin tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberikan perlindungan hukum, antara hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik.
    Konsepsi negara hukum merupakan gagasan yang muncul untuk menentang absolutisme yang telah melahirkan negara kekuasaan. Pada pokoknya kekuasaan penguasa (raja) harus dibatasi agar jangan memperlakukan rakyat dengan sewenang-wenang. Pembatasan itu dilakukan dengan jalan adanya supremasi hukum, yaitu bahwa segala tindakan penguasa tidak boleh sekehendak hatinya , tetapi harus berdasar dan berakar pada hukum, menurut ketentuan hukum dan Undang-undang yang berlaku dan untuk itu juga harus ada pembagian kekuasaan negara khususnya kekuasaan yudikatif yang dipisahkan dari penguasa.
    Menurut M.Tahir Azhary (2006:14) dalam kepustakaan ditemukan lima konsepsi negara hukum, yakni:
1.    Negara Hukum Nomokrasi Islam yang diterapkan di negara-negara islam;
2.    Negara Hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtstaat;
3.    Negara Hukum Rule of Law yang diterapkan di negara-negara Anglo Saxon;
4.    Negara Hukum Socialist yang diterapkan di negara komunis dan;
5.    Negara Hukum Pancasila.

    Konsep Negara Hukum Nomokrasi Islam memiliki ciri-ciri : bersumber dari AlQuran, Sunnah dan ra’yu. Adapun unsur-unsur utamanya meliputi:
1.    Kekuasaan sebagai amanah;
2.    Musyawarah;
3.    Keadilan;
4.    Persamaan;
5.    Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia;
6.    Perdailan bebas;
7.    Perdamaian;
8.    Kesejahteraan; dan
9.    ketaatan rakyat.

    Konsep rechstaat bersumber dari rasio manusia, liberalistik individualistik, humanisme yang antroposentrik, serta pemisahan negara dengan agama secara mutlak ateisme dimungkinkan. Adapun unsur-unsur utama menurut F.J. Stahl (2006:15) terdapat empat unsur dari negara hukum yaitu:
1.    Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia;
2.    Adanya pembagian kekuasaan;
3.    Pemerintah harus berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan
4.    Adanya peradilan administrasi.
Sementara menurut Sceltema(2006:15) unsur-unsurnya terdiri dari:
1.    Kepastian hukum;
2.    Persamaan;
3.    Demokrasi dan;
4.    Pemerintahan yang melayani kepentingan umum.
    Konsep Rule of Law sumbernya sama dengan konsep rechtstaat. Adapun unsur-unsur utamanya dalam uraian A.V. Dicey (2006:16) mencakup:
1.    Supremasi aturan-aturan hukum. Tidak adanya aturan sewenangan-wenang dalam arti bahwa seseorang boleh dihukum jika melanggar hukum;
2.    Kedudukan yang sama di hadapan hukum;
3.    Terjaminnya hak asasi manusia oleh Undang-undang serta putusan-putusan pengadilan.
    Bertitik tolak dari falsafah Pancasila Philipus. M. Hadjon(2006:16) merumuskan elemen atau unsur-unsur negara hukum Pancasila sebagai berikut:
1.    Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
2.    Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan negara
3.    Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;
4.    Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
    Selanjutnya International Commision of Jurist, yang merupakan organisasi ahli hukum internasional dalam konfrensinya di Bangkok tahun 1965 memperluas konsep Rule of Law dan menekankan apa yang dinamakan: The dinamic of the rule of law in the modern age. Dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah rule of law ialah:
1.    Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu harus menentukan juga cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2.    Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3.    Pemilihan umum yang bebas;
4.    Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
5.    Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi serta;
6.    Pendidikan kewarganegaraan.
“Jimly Assshiddiqie (2006:17) menyebutkan bahwa paling tidak ada sebelas prinsip pokok yang terkandung dalam negara Hukum yang Demokratis,yakni:
1.    Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama.
2.    Adanya pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan / pluralitas.
3.    Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama.
4.    Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama itu.
5.    Adanya pengakuan dan penghormatan terhadap HAM;
6.    Adanya pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antarlembaga negara,baik secara vertikal maupun horizontal;
7.    Adanya pengadilan yang bersifat independen dan tidak memihak dengan kewibawaan putusan tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran;
8.    Adanya lembaga peradilan yang dibentuk khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat administrasi negara)
9.    Adanya mekanisme judicial review oleh lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan legislatif,baik yang ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun eksekutif;dan
10.    Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
11.    Adanya pengakuan terhadap asas legalitas dan  due perocess of law  dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara.
    Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan itu tidak berhenti hanya dengan munculnya gerakan pemisahan kekuasaan raja dan kekuasaan pendeta serta pimpinan gereja. Upaya pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan pola-pola pembatasan didalam pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri, yaitu dengan melakukan pembedaan dan pemisahan kekuasaan negara kedalam beberapa fungsi yang berbeda-beda. Dalam hubungan ini yang dianggap paling berpengaruh pemikirannya dalam mengadakan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan itu adalah Montesquieu (2006:24) dengan teori trias politicanya. Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter bisa dihindari dengan membatasi kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Menurut Locke, hal ini dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).
    Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat Undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan. Eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan Undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antar negara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan dengan tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya. Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan adanya kekuasaan yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang harus dilaluinya. Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.
    Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu, karena pada titik inilah letak kemerdekaan individu dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Montesquieu sangat menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemerdekaan kekuasaan yudikatif. Argumentasi yang dikemukakan pemikiran ini adalah bahwa kekuasaan yudikatif yang merdeka, secara maksimal dapat melindungi hak-hak warga negara dari kekuasaan yang despotis. kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah Government (Pemerintah) yang merupakan alat-alat perlengkapan negara.
    Dalam doktrin Trias Politica, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif.  Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan menghasilkan keputusan yang tidak memihak dan semata- mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan.
Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaiakan konflik yang terjadi dalam kehidupan suatu negara dalam segala derivasinya.
    Disamping itu, dalam studi ilmu administrasi publik, dikenal pula adanya teori yang membagi kekuasaan kedalam dua fungsi saja. Kedua fungsi itu adalah (i) fungsi pembuatan kebijakan (policy making function), dan (ii) fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing fungction).
Seperti diuraikan di atas, persoalan pembatasan kekuasaan (limitation of power) berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan teori pembagian kekuasaan (division of power). Istilah “Pemisahan kekuasaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politika atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquie, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Kekuasaan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan demikian pula kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh cabang kekuasaan yudisial. Sehingga pada intinya satu organ hanya mempunyai satu satu fungsi.
B.Hakim
    Lembaga peradilan di Indonesia dari tahun ke tahun mulai menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Sebagai salah satu dari lembaga peradilan, hakim saat ini juga mendapat sorotan yang relatif tinggi dari masyarakat dan media.Secara yuridis, hakim merupakan bagian integral dari sistem supremasi hukum.Tanpa adanya hakim yang memiliki integritas, sikap dan perilaku yang baik dalam lembaga peradilan, maka jargon-jargon good government dan good governance yang selama ini digembar-gemborkan oleh banyak pihak tidak akan dapat terealisasi, hanya sebatas “mimpi” semata.
1.    Pengertian Hakim
    Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Hakim menurut pasal 1 ayat 5 UU 48 Tahun 2009 adalah ” Hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut."
    Dalam pasal 31 UU nomor 48 Tahun 2009 dijelaskan : “Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.”
    Kemudian dalam pasal 1 ayat 2 UU 49 Tahun 2009 tentang peradilan umum dijelaskan bahwa  Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Negeri dan Hakim pada Pengadilan Tinggi. Dalam pasal 1 ayat 3 UU 50 Tahun 2009 juga dijelaskan bahwa Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Agama dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama. Dalam pasal 1 ayat 2 UU 51 Tahun 2009 juga dijelaskan bahwa Hakim adalah Hakim pada PTUN dan hakim pada Pengadilan Tinggi PTUN.Sedangkan dalam pasal 1 ayat 4 UU 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer dijelaskan Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, Hakim Militer Utama yang selanjutnya disebut Hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan.
    Secara normatif menurut Pasal 1 ayat (5) UU Komisi Yudisial No. 18 Tahun 2011 tentang komisi Yudisial yang dimaksud dengan Hakim adalah hakim dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. sedangkan secara etimologi atau secara umum, Bambang Waluyo. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa.    Kalau kita perbandingkan dari keduanya, secara normatif hakim merupakan institusi yang mempunyai kekuasaan kehakiman, yang mencakup Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya sampai ke Mahkamah Konstitusi. Sedangkan penjelasan tentang hakim secara umum, hakim haruslah seseorang yang mempunyai tanggung jawab, integritas, dan kemampuan untuk berbuat adil dalam membuat keputusan.
    Pada dasarnya pengertian hakim, apabila kata tersebut ditafsirkan secara generik maka dapat diartikan bahwa hakim adalah seluruh hakim disemua jenis dan tingkatan peradilan yaitu Hakim Agung, hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung dan Hakim Konstitusi.
a.Hakim ad hoc.
    Istilah hakim ad hoc banyak dijumpai pada peraturan perundang-undangan. Diantaranya dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum disebutkan,
“Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.”
    Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”), yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 3A ayat (3)UU Peradilan Agama:“Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, danmemutus perkara, yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu  tertentu.”Dalam penjelasan Pasal 3A ayat (3) UUPeradilan Agama lebih jauh dijelaskan bahwa “Tujuan diangkatnya “hakim ad hoc” adalah untuk membantu penyelesaian perkara yang membutuhkan keahlian khusus misalnya kejahatan perbankan syari’ah dan yang dimaksuddalam “jangka waktu tertentu” adalah bersifat sementara sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.”
    Sehingga, dari pengaturan-pengaturan di atas dapat disimpulkan istilah Hakim ad hoc adalah digunakan untuk menyebut seseorang yang diangkat menjadi hakim untuk jangka waktu tertentu yang sifatnyasementara.misalnya dapat kita lihat dari ketentuan Pasal 33 ayat (5)UU Pengadilan HAM yang menentukan:“Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diangkat untuk satu kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun.”
    Pengaturan yang serupa juga kita temui dalam Pasal 10 ayat (5) UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi(“UU Pengadilan Tipikor”) bahwa Hakim ad hoc diangkat untuk masa jabatan selama 5(lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.Jadi, memang Hakim ad hoc hanya diangkat untukperiode waktu tertentu yang sifatnya sementara.Dalam UU Pengadilan HAM dan UU Pengadilan Tipikor sifat sementara ini dibatasi untuk periode waktu lima tahun.
    Istilah hakim karier dan nonkarier dapat ditemui antara lain dalam Pasal 6B UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU 3/2009”) yang menyatakan:
 (1) Calon hakim agung berasal dari hakim karier.
(2) Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon hakim agung juga berasal dari nonkarier.
Kemudian, Penjelasan Pasal 6B UU 3/2009 tentang MA menyebutkan:
“Ayat (1) Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang berasal dari hakim karier” adalah calon hakim agung yang berstatus aktif sebagai hakim pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh Mahkamah Agung.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang juga berasal dari nonkarier” adalah calon hakim agung yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan.”
    Jadi, istilah hakim karier  dan nonkarier dalam UU 3/2009 di atas digunakan dalam konteks calon hakim agung. Hakim karier digunakan untuk menunjuk calon hakim agung yang berasal dari dalam lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sedangkan, calon hakim agung yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan termasuk calon hakim agung nonkarier.
    Perbedaan lainnya antara hakim karier dan nonkarier dapat diketahui dari pengaturan Pasal 7 UU 3/2009 tentang MA berikut:
“Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon hakim agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B harus memenuhi syarat:
b.Hakim karier dan nonkarier
•    hakim karier;
1.warga negara Indonesia;
2.bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3.berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
4.berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
5.mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
6. berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan
7.tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.
•    nonkarier:
1. memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1, angka 2, angka 4, dan angka 5;
2. berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua puluh) tahun;
3.berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; dan
4.tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”
        Perlu diketahui juga bahwa istilah hakim karier dan nonkarier ini hanya dikenal selama proses pencalonan hakim agung. Setelah calon hakim agung diangkat menjadi hakim agung, tidak lagi ada perbedaan kedudukan antara hakim agung yang berasal dari dalam lingkungan badan peradilan (jalur hakim karier), maupun yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan (jalur nonkarier).
        Di sisi lain, dalam konteks yang berbeda, kita juga dapat menemui istilah hakim karier dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, di antaranya dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pengadilan Tipikor”) yang mendefinisikan:
“Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi”
        Seperti di ketahui, di dalam UU Pengadilan Tipikor yang dimaksud dengan hakim adalah hakim karier dan hakim ad hoc (lihat Pasal 1 angka 1). Sedangkan, yang dimaksud dengan hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam UU Pengadilan Tipikor sebagai hakim tindak pidana korupsi (lihat Pasal 1 angka 3).
2.    Kedudukan, Fungsi, Tugas  dan Kewenangan  Hakim
    Pada dasarnya hakim dapat diartikan sebagai orang yang bertugas untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, menghukum orang yang berbuat salah dan membenarkan orang yang benar. Dan, didalam menjalankan tugasnya, ia tidak hanya bertanggung jawab kepada pihak-pihak yang berpekara saja, dan menjadi tumpuan harapan pencari keadilan, tetapi juga mempertanggung jawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah dalam tiap - tiap amar putusan hakim selalu didahului kalimat: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Nisâ` ayat 58 sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
    Terjemahan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
    Begitu pentingnya profesi hakim, sampai-sampai ruang lingkup tugasnya harus dibuatkan undang-undang. lihat saja, dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan disesuaikan lagi melalui UU No.3 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Kemudian, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Komisi Yudisial, dan peraturan perundangan lainnya.
    Bahkan, dalam menjalankan tugasnya diruang sidang, hakim terikat aturan hukum, seperti hal nya pada pasal 158 KUHAP yang mengisyaratkan: Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan disidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa. Begitupun dalam menilai alat bukti, UU telah dengan tegas mengingatkan hakim untuk bertindak arif lagi bijaksana (Pasal 188 ayat (3) KUHAP). Tak hanya itu saja, hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum,demikian bunyi pasal 32 UU No. 4/2004.   
    Profesi hakim merupakan profesi hukum, karena pada hakekatnya merupakan pelayanan kepada manusia dan masyarakat dibidang hukum. Oleh karenanya hakim dituntut memiliki moralitas dan tanggung jawab yang tinggi, yang kesemuanya dituangkan dalam prinsip prinsip dasar kode etik hakim, antara lain:
a. Prinsip kebebasan.
    Prinsip ini memuat kebebasan peradilan adalah suatu prasyarat terhadap aturan hukum dan suatu jaminan mendasar atas suatu persidangan yang adil. Oleh karena itu, seorang Hakim harus menegakkan dan memberi contoh mengenai kebebasan peradilan baik dalam aspek perorangan maupun aspek kelembagaan.
b. Prinsip Ketidakberpihakan.
    Prinsip ini sangatlah penting untuk pelaksanaan secara tepat dari peradilan. Hal ini tidak hanya berlaku terhadap keputusan itu sendiri tetapi juga terhadap proses dalam mana keputusan itu dibuatan.
c. Prinsip Integritas.
    Prinsip integritas sangat penting untuk pelaksanaan peradilan secara tepat mutu pengemban profesi
d. Prinsip Kesopanan.
    Kesopanan dan citra dari kesopananitu sendiri sangat penting dalam pelaksanaan segala kegiatan seorang Hakim.
e. Prinsip Kesetaraan.
    Prinsip ini memastikan kesetaraan perlakuan terhadap semua orang dihadapan pengadilan sangatlah penting guna pelaksanaan peradilan sebagaimana mestinya.
f. Prinsip Kompetensi dan Ketaatan.
    Prinsip kompetensi dan ketaatan adalah prasyarat terhadap pelaksanaan peradilan sebagaimana mestinya.
    Kedudukan hakim telah diberikan tempat pada konstitusi Negara kita. Dalam amandemen ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; Ayat (2): Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
    Disamping itu, pada Pasal 25 amandemen UUD 1945 ditentukan bahwa syarat–syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan oleh undang–undang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan agar hakim dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan sungguh–sungguh dan memiliki independensi,secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah atau kekuasaan lain dalam masyarakat.
    Keberadaan suatu pedoman etika dan perilaku hakim sangat dibutuhkan dalam rangka  menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pedoman etika dan perilaku hakim merupakan inti yang melekat pada  profesi hakim, sebab ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral, untuk mewujudkan suatu pengadilan sebagaimana dikemukakan di atas tidaklah mudah karena adanya berbagai hambatan. Hambatan itu antara lain timbul dari dalam badan peradilan sendiri terutama yang berkaitan dengan kurang efektifnya pengawasan internal, dan cenderung meningkatnya berbagai bentuk penyalah-gunaan wewenang oleh hakim.
    Hakim adalah Hakim dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan. (UU No 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, Pasal 1 ayat 5).
3.    Dalil – dalil yang mengatur tentang Keadilan di Peradilan.
    Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat banyak ayat tentang adil yang ditemukan oleh penulis dalam Alquran. Setelah dibaca setiap satunya, maka penulis memfokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Menyampaikan amanat dan menghukum dengan adil.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Nisâ` ayat 58 sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Terjemahan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
        Walaupun ayat ini diturunkan oleh sebab yang tertentu, akan tetapi ayat ini tetap berlaku secara umum dan bukan hanya tertakluk pada sebab kisah ini. Ini dikarenakan oleh sebuah kaedah dalam ‘ulûm al-Qur`ân yang berbunyi
 “العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب”.
    Perintah awal dari ayat ini adalah supaya menjalani amanat dengan memberikannya kepada ahlinya bagi setiap muslimin. Sama ada hak bagi dirinya sendiri maupun hak bagi orang lain serta hak Allah secara umum.
    Contoh menjaga amanah dalam hak Allah adalah seperti mematuhi perintahnya dan menjauhi larangannya. Menjaga amanah bagi hak manusia itu sendiri adalah seperti tidak melakukan kecuali apa yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat. Sedangkan menjaga amanah bagi orang lain adalah seperti tidak menipu ketika bermuamalat, berjihad, dan nasihat.
    Setelah menetapkan amanah, maka datanglah giliran menghukumi dengan adil diantara manusia. Dalam firman Allah yang berbunyi “حَكَمْتُمْ” adalah merupakan fi’il mâdli yang bertemu dengan dlamîr muttashil “أنتم”. Ia memiliki arti “القضاء” yaitu menghukumi. Asal usulnya bermakna “المنع” yaitu mencegah.
 Contohnya:
“حكمت عليه بكذا إذا منعته مِنْ خِلَافِهِ فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْخُرُوجِ مِنْ ذَلِكَ وَحَكَمْتُ بَيْنَ الْقَوْمِ فَصَلْتُ بَيْنَهُمْ فَأَنَا حَاكِمٌ”
yang berarti: “aku menghukum terhadapnya begini ketika akau menghalangnya dari melakukan sebaliknya, maka dia tidak mampu melakukan selain itu. Dan aku menghukum di antara kaum yaitu memutuskan di antara mereka maka aku adalah seorang hakim”.
    Secara istilah, kata menghukumi atau dalam bahasa Arab yang lebih dikenali dengan kata “القضاء” itu adalah memisah pertengkarang/persengketaan dan menghilangkan perselisihan. Ia adalah dituntut dalam Islam berdasarkan firman Allah
 “إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أراك الله”.
 bahwa kata “adil” di dalam ayat ini adalah;
 “إيصال الحق إلى صاحبه من أقرب طريق”
 yaitu “memberikan hak kepada pemiliknya dengan jalan yang terdekat”.
    Keadilan adalah merupakan asas kepimpinan. Ia adalah asal dari dasar-dasar hukum di dalam Islam. Wajib ada bagi masyarakat sosial agar yang lemah dapat mengambil haknya. Yang kuat tidak merampas dari yang lemah. Terlestarilah keamanan. Seluruh syariat yang datang dari Allah (seperti agama Yahudi dan Nasrani) itu mewajibkan mendirikan keadilan. Maka dari itu, wajib bagi hakim dan perangkat pemerintahan melestarikan keadilan sehingga hak-hak tersentuh ahlinya.
    Dalam membahas tentang adil ini, Alquran menyebutkannya di lebih dari satu tempat. Seperti contoh Surah al-Nahl ayat 90 yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُون
Terjemahan: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
    Kata adil menurut ‘Athiyyah: “telah berkata al-Qâdlî `Abû Muhammad: Adil adalah melakukan segala perkara yang difardukan dari segi akidah dan syariat, kehidupan sesama manusia di dalam melaksanakan amanat dan meninggalkan kezaliman, memberikan sesuatu yang hak”.
2. Perlakuan sama di dalam peradilan dan persaksian.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Nisâ` ayat 135 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
    Sebab turunya ayat ini ditakhrîj `Ibn Jarîr dari al-Sadiyyi. Ketika ayat ini diturunkan, terdapat dua orang lelaki yang sedang bersengketa yaitu satu kaya dan satu fakir. Sedangkan Nabi Muhammad SAW menyebelahi yang fakir, dengan pandangan orang fakir tidak mungkin menzalimi yang kaya. Maka Allah enggan menerimanya kecuali menegakkan keadilan dalam arti seimbang di antara yang kaya dan fakir.
    Dalam ayat ini, kata adil digunakan dengan kata “القسط” yang secara bahasa memiliki arti adil, seimbang, tengah-tengah di dalam segala perkara. Ini sama seperti yang terdapat di dalam surah al-`A’râf ayat 29:
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ

Terjemahan: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".
    Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT memerintah hambanya yang mukmin agar menjadi orang yang benar-benar menegakkan keadilan. Dalam hal, keadilan yang dimaksud Allah SWT adalah seimbang dengan tidak condong ke kanan atau ke kiri.
     ayat ini menegaskan dua hal:
1. Penekanan untuk sangat-sangat di dalam menegakkan keadilan dan membantu, bukan menyulitkan atau berpaling di dalam peradilan. Dalam hal ini, keadilan dalam Islam tidak hanya diperuntukan bagi orang muslim, tapi juga non muslim.
2. Seumpama dalam peradilan hakim harus bersikap adil, maka persaksian juga harus dengan yang hak walau terhadap diri sendiri, orang tua atau kerabat. Ini dikarenakan hak itu unggul dan tidak diungguli oleh yang lain.
Selain dari surah al-Nisâ` ayat 138 ini, Surah al-Mâ`idah ayat 8, Surah al-Hujjarât ayat 9 juga memiliki tafsiran yang sama.
C.Komisi Yudisial
1.    Kewenangan Komisi Yudisial
    Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan Hakim ad hoc serta mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945).
    ketentuan mengenai KY di dalam UUD 1945 sebelum perubahan belumlah dikenal. Namun, setelah amandemen ketiga UUD 1945, yang ditetapkan tanggal 9 November 2001, KY telah secara rinci diatur dan menjadi rumusan pasal tersendiri di dalam Bab Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan mengenai KY diatur dalam ketentuan Pasal 24A ayat (3) “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.” Wewenang tersebut diulangi kembali dalam Pasal 24B ayat (1) yang menyebutkan: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta perilaku hakim.” Secara umum kehadiran KY di dalam UUD 1945 hasil perubahan ketiga, dimaksudkan untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
    Walaupun KY diletakkan dalam Bab IX UUD 1945, tetapi tidak termasuk sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Karena menurut ketentuan dalam Pasal 24 ayat (1), “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan KY tidak menyelenggarakan peradilan yang dimaksud.
     Meskipun lembaga baru ini tidak menjalankan kekuasaan kehakiman tetapi keberadaannya diatur dalam UUD 1945 Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dari ketentuan mengenai Komisi Yudisial ini dapat dipahami bahwa jabatan hakim dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini adalah jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri, yaitu Komisi Yudisial.Khusus terhadap Mahkamah Agung, tugas Komisi Yudisial itu dikaitkan dengan fungsi pengusulan pengangkatan Hakim Agung, sedangkan pengusulan pengangkatan hakim lainnya, seperti hakim konstitusi misalnya, tidak dikaitkan dengan Komisi Yudisial.
    Lembaga Negara baru ini bernama Komisi Yudisial, yang dibentuk berdasarkan UU Komisi Yudisial. Mengenai kewenangan Komisi Yudisial, pasal 13 UUKY menentukan :
    Sedangkan tugas Komisi Yudisial ditentukan pasal 20 ayat (1) UUKY, yaitu:
a.     Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim;
b.     Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim;
c.     Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
d.     Memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim; dan
e.     Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat Hakim.
2.Fungsi Komisi Yudisial
1.    Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring internal saja;
2.    Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (Executive Power) dan kekuasaan kehakiman (Judicial Power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah.
3.    Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan (Judicial Power) akan semakin tinggi dalam banyak hal; baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring Hakim Agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman.
4.    Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial)
5.    Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (Judicial Power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan Hakim Agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.









BAB V
PENUTUP
       Setelah penulis menguraikan tentang bagaimana fenomena peradilan di Indonesia penulis dapat menyimpulkan dan sekedar memberikan sedikit saran yang penulis tulis dalam bab terakhir ini dalam rangka penulisan skripsi ini.
A.Kesimpulan
    Berdasarkan hasil dari pembahasan yang dilakukan oleh penulis, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.Dari pembahasan yang pertama, yaitu tentang Fungsi Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap Hakim, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan Komisi Yudisial merupakan kebutuhan dan konsekuensi logis dari tuntutan kearah pemerintahan yang lebih menjamin keseimbangan dalam system peradilan di Indonesia, dengan melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan masyarakat dengan spektrum yang seluas-luas nya, sekaligus menjadi mediator antara kekuasaan pemerintah dengan kekuasaan kehakiman sehingga tidak terintimidasi dari pengaruh kekusaan apapun, dan  meningkatkan tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman baik yang menyangkut rekrutmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kehakiman,serta kemandirian kekuasaan kehakiman dapat terus terjaga terhadap politisasi perekrutan hakim agung sebagaimana di amanatkan dalam UUD 1945 amandemen ke tiga.
2.Dari pembahasan yang kedua, yaitu tentang implikasi hukum kewenangan pengawasan terhadap Hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial setelah putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006, Dalam putusan nya,Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perluasan batasan hakim dalam pasal 1 angka 5 UU KY menjadi Hakim konstitusi bertentangan karena dapat memandulkan fungsi Mahkamah konstitusi dalam memutus sengketa antar lembaga negara yang kewenangan nya diberikan oleh UUD 1945. Selain itu,komisi yudisial sama sekali tidak terlibat dalam pemilihan dan pengangkatan Hakim Konstitusi dan UUD sama sekali tidak bermaksud untuk memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial dalam mengawasi perilaku Hakim Konstitusi.sebagai konsekuensinya,pasal-pasal dalam UU KY yang mencakup Hakim Konstitusi dinyatakan tidak mengikat oleh MK. Berbeda dengan Hakim agung, MK berpendapat bahwa Hakim agung termasuk dalam batasan Hakim yang tidak luput dari pengawasan Komisi Yudisial.
B. Saran
1. Apabila Komisi Yudisial sudah diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan melalui Undang – undang yang berlaku, hakim diharapkan agar berlapang dada  dengan kehadiran Komisi Yudisial sebagai pengawas, dan mau membantu kelancaran pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial sehingga keseimbangan antar lembaga tinggi ( check and balance ) di Negara Indonesia ini dapat terwujudkan.
2.Untuk menjaga kehormatan dan wibawa pengadilan dan hakim indonesia, fungsi pengawasan internal Mahkamah Agung dan eksternal Komisi Yudisial harus lebih diefektifkan, sehingga tercipta pengadilan yang bersih, bebas, dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar